Tradisi Baku Pukul Manyapu di Maluku, Simbol Kekuatan dan Persaudaraan

Avatar photo
Atraksi Baku Pukul Manyapu Aset Pariwisata Unik Maluku
Atraksi Baku Pukul Manyapu Aset Pariwisata Unik Maluku

Ambon, SPN – Masyarakat Maluku memiliki berbagai tradisi yang unik dan kaya, mencerminkan kearifan lokal dan ikatan sosial yang kuat. Beberapa tradisi yang masih berlangsung dan dilestarikan masyarakat Maluku, hingga kini.

Pada edisi kali ini, kita akan bercerita terkait tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, fokusnya pada Tradiai Pukul Sapu atau Baku Pukul Menyapu.

Baku pukul manyapu adalah tradisi atau atraksi budaya yang berasal dari dua negeri bertetangga di Jazirah Leihitu, Pulau Ambon bagian utara,yakni Mamala dan Morella, yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Leihitu,  Kabupaten Maluku Tengah. Atraksi budaya ini berlangsung setiap tanggal 7 Syawal (dalam kalender Islam) dan telah berlangsung dari abad ke-17.

Baku pukul manyapu menurut sejarahnya diciptakan oleh seorang tokoh Islam dari Maluku yang bernama Imam Tuni. Tradisi ini dipertunjukkan sebagai perayaan atas keberhasilan pembangunan masjid yang selesai dibangun pada 7 Syawal, tepatnya setelah hari raya Idul Fitri.

Tradisi Pukul Sapi Lidi Negeri Mamala-Morella (foto : Instagram)
Tradisi Pukul Sapi Lidi Negeri Mamala-Morella (foto : Istimewa)

Tradisi ini juga dikaitkan dengan sejarah perjuangan Kapitan Telukabessy dengan pasukannya pada masa penjajahan Portugis dan VOC pada abad ke-16 di Kerajaan Tanah Hitu.

Pasukan pimpinan Kapitan Telukabessy ini bertempur untuk mempertahankan Benteng Kapahaha dari serbuan VOC, meskipun pada akhirnya harus mengalami kekalahan dan Benteng Kapahaha berhasil ditaklukkan. Untuk menggambarkan kekalahan tersebut, pasukan Telukabessy mengambil lidi enau dan saling mencambuk diri hingga berdarah.

Tradisi ini dipandang sebagai alat untuk mempererat tali persaudaraan masyarakat di negeri Morella dan Mamala. Baku pukul manyapu dilakukan oleh para pemuda yang dibagi dalam dua kelompok, di mana setiap kelompoknya berjumlah 20 orang.

Kedua kelompok dengan seragam yang berbeda itu akan saling bertarung satu sama lain. Kelompok satu menggunakan celana pendek berwarna merah sedangkan kelompok lainnya menggunakan celana pendek berwarna putih

Pesertanya juga diwajibkan menggunakan ikat kepala untuk menutupi telinga agar terhindar dari sabetan lidi. Alat pukul dalam tarian ini adalah lidi dari pohon enau dengan panjang sekitar 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul dalam tradisi ini adalah dari dada hingga perut.

Ketika atraksi dimulai, kedua kelompok akan saling berhadapan dengan memegang lidi enau di kedua tangan. Ketika suara peluit mulai ditiup sebagai tanda pertandingan dimulai, kemudian kedua kelompok ini secara bergantian saling pukul menggunakan lidi tersebut.