” Perlunya regulasi yang selama ini kurang tegas. Meskipun sudah ada aturan yang mengatur siapa saja yang berhak menggunakan sirene dan strobo (seperti mobil ambulans, pemadam kebakaran, dan polisi), penegakan hukumnya sering kali dianggap lemah. Ketidaktegasan ini membuat banyak orang berani menggunakannya tanpa izin, memperburuk masalah penyalahgunaan.” ucap Djoko di Jakarta, Minggu ( 21/9/2025)
Hal ini menurut Djoko mengurangi kepercayaan publik. Ketika sirene dan strobo digunakan secara sembarangan. “Kepercayaan masyarakat terhadap sistem darurat bisa menurun. Saat mendengar sirene, masyarakat tidak lagi yakin apakah itu benar-benar situasi darurat atau hanya kendaraan yang ingin mencari jalan pintas. Akibatnya, ketika ada situasi darurat yang nyata, respons masyarakat untuk memberikan jalan mungkin tidak secepat atau setanggap seharusnya.” Ucap Djoko.
Menurut Djoko seharusnya ada sanksi yang diberikan bagi setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan.Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar dapat dipidana kurungan maksimal satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (pasal 287 ayat 4).
Sanksi yang diberikan terlalu rendah dan sudah seharusnya masuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sanksi pidana dan denda harus ditinggikan, sehingga ada efek jera bagi yang melanggar aturan itu.
“Penolakan ini tidak hanya sekadar ketidaknyamanan, tetapi memiliki dampak serius. Hal ini memicu kampanye kesadaran, petisi, dan protes di media sosial. Masyarakat semakin vokal menuntut penegakan hukum yang lebih ketat dan penggunaan strobo yang bertanggung jawab.”
” Intinya, penggunaan sirene dan rotator yang tidak sesuai aturan menciptakan ketidakadilan, mengganggu ketenangan, dan pada akhirnya merusak esensi dari tujuannya sebagai alat keselamatan.” jelas Djoko