Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda : Penyair Tak Jujur dan Integritas Moral Rendah, Bila Gunakan Teknologi AI Bisa Terjadi Plagiarisme

Avatar photo

Lagi pula perintah yang sama, lanjutnya, ketika kita masukkan pada saat berbeda, jadinya puisi yang agak berbeda. Apalagi kalau kita masukkan dengan kata-kata kunci yang berbeda, akan jadi puisi yang berbeda.

“Karena itu, sangat mungkin pada saatnya nanti penyair akan dikalahkan oleh AI. Nah, ini yang mendorong plagiarisme. Penyair yang malas, tidak jujur, dan integritasnya moralnya rendah, bisa terjerembab ke plagiarisme semacam itu. Apalagi di NOVA masih ada penggunaan gratis. Sedang GEMINI, bagi pengguna Telkomsel, masih sepenuhnya gratis ” kilahnya.

Penyair yang juga wartawan senior Ahmadun Yosi Herfanda menambahkan yang paling mungkin barangkali perlu dibuat aplikasi yng bisa mendeteksi seberapa besar peran AI dalam suatu karya sastra .

“Lalu disepati bersama, peran berapa persen untuk menyebut karya sastra itu plagiat,” pungkasnya.

Sedangkan Giyanto Subagio mengatakan tak perlu ada pedoman proses kreatif menulis karya sastra mempergunakan teknologi AI.

Apalagi untuk sebuah proses kreatif menulis karya sastra berupa kritik sastra untuk karya puisi, sajak, cerpen, atau novel.

“Diperlukan estetika dan harmonisasi.Harus ada aspek keindahan termasuk dalam sebuah kritik sastra bila menpergunakan teknologi AI yang cenderung mempergunakan referensi dan berbagai sumber pustaka,” kata Penyair Giyanto Subagio.

Bung Edo panggilan akrabnya, memberi contoh bagaimana para tokoh sastra seperti HB.Jassin, Prof.Budi Darma, Dami N Toda, MS.Hutagalung, membuat suatu kritik sastra yang punya estetika, etika, serta harmonisasi keindahan.

“Kalau kritik sastra mempergunakan teknologi AI pasti tak memiliki estetika dan etika, cenderung hanya gunakan referensi saja.Pasti lebih canggih otak dan pikiran manusia yang asli, ketimbang teknologi kecerdasan buatan.Pemikiran manusia punya nilai-nilai spiritual. Apa teknologi AI punya nilai spiritual, tentu tidak,” tegasnya.(Lasman)