Proses Kreatif Menulis Karya Sastra, Teknologi AI Tak Ada Nilai Etika, Data Cenderung Menyesatkan

Avatar photo

“Teknologi AI tetap ada keterbatasan dalam hal up date terbaru, misalnya kosa kata.Data base teknologi ini hanya sampai tahun 2022 dan 2023, sedangkan untuk tahun 2024 tak ada sama sekali.Jadi memori teknologi AI ada keterbatasan,” akuinya.

Menurut Bung Edo-panggilan akrabnya- data yang dimiliki teknologi.AI sampai tahun 2022-2023, data tahun 2024 -bahkan sampai awal tahun 2025 ini-tak ada sama sekali.

“Contoh bahasa baru atau kosa kata baru sampai tahun 2023 sedangkan untuk tahun 2024 teknologi AI sama sekali tak ada. Coba anda cek langsung di google kalau tak percaya.Ini merupakan persoalan pertama dari penggunaan teknologi AI untuk sebuah karya sastra,” ujarnya.

Dikatakannya lagi, entry data teknologi AI tak ter-update dengan baik, bahkan referensi kurang kuat.

Misalnya, bila ada sebuah karya sastra yang “viral” satu tahun sebelumnya, pada tahun 2024 belum ada di teknologi AI ini.

Persoalan kedua adalah aspek “rasa” pada karya sastra mempergunakan teknologi AI sangat ‘kering’ .Bahasa sastra yang digunakan tak memiliki roh dan nyawa.

“Dalam kritik sastra misalnya seorang kritikus sastra secara manual akan menulisnya mempergunakan akal budi dan pikiran yang alamiah dan sangat kuat.Tulisan kritik sastra juga mempergunakan rasa sebagai sebuah karya seni,” kata penyair yang sering baca puisi di area Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin di TIM Jakarta ini.

Seorang penyair dan kritikus sastra, lanjut Bung Edo tak akan mempergunakan teknologi AI ini, terutama bila menyangkut soal etika.

“Saya sepakat soal etika seperti yang dikatakan Prof.Wahyu Wibowo .Apalagi sebuah karya sastra itu diperlukan satu kejujuran dalam proses kreatif menulis.Kita sebagai penyair atau kritikus sastra generasi ‘kertas’ pasti masih pegang prinsip idealisme dan kejujuran,” ujarnya.

Bagaimana dengan generasi milenial atau Gen Z dalam proses kreatif menulis karya sastra ?

” Sungguh memprihatinkan.Gen Z tak memegang teguh idealisme.Mereka bahkan sering jadi joki dan pesanan berbayar untuk sebuah karya sastra ,” pungkasnya.

DATA CENDERUNG MENYESATKAN

Sampai saat ini saya belum pernah menggunakan/ memanfaatkan Artificial Intellegence (AI) untuk kepentingan penulisan sajak. Meskipun AI sudah ‘menclok’ di WhatSapp, saya belum yakin AI mempengaruhi proses kreatif saya dalam menulis sajak.

“Pendatang bernama teknologi pasti punya kelemahan dan kelebihan. Kelemahan AI, antara lain data yang kita minta tidak akurat dan cenderung menyesatkan. Referensi yang muncul seringkali di luar nalar manusia,” ujar Penyair dan Sastrawan Nanang R Supriyatin ketika dihubungi di Jakarta, Minggu pagi (19/1/2025).