Proses Kreatif Menulis Karya Sastra, Teknologi AI Tak Ada Nilai Etika, Data Cenderung Menyesatkan

Avatar photo

Jakarta– Hal ini sudah lama dan sering diperbincangkan kalangan ahli sastra.Namun, yang jelas walaupun dianggap lebih cerdas, ada satu hal yang tidak ada di teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

“Yang jelas, walaupun dianggap lebih cerdas, ada satu hal yang tidak ada di AI, yaitu nilai-nilai etika,” ujar Prof.Dr.Wahyu Wibowo, Dosen Mata Kuliah Bahasa Filsafat di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional (UNAS) ketika diminta pendapatnya soal proses kreatif dalam menulis karya sastra mempergunakan teknologi AI di Jakarta, Minggu (19/1/2025).

Menurut Prof.Dr.Wahyu Wibowo, karena sekalipun ada nilai etika secara universal (misalnya tentang ungkapan dilarang membunuh-ref), toh d mana pun dalam budaya yang berbeda-beda, percayalah, tidak ada nilai-nilai etika yang sama.

“Pasti juga akan berbeda-beda.Misalnya tentang kata “pembunuhan” tadi.Satu budaya akan melihatnya sebagai proses alamiah biasa, sedangkan budaya lain akan melihatnya secara atropologis misalnya, makanya ada upacara-upacara dan ritual lainnya,” ujarnya

Jadi, atas kebesaran Tuhan tidak mungkin kehidupan manusia ‘diseragamkan’ oleh adanya AI.

“Lihatlah sebuah taman bunga, apa yang terjadi jika taman itu hanya ditumbuhi bunga berwarna putih.Marilah merenung, apakah ada sesuatu yang baru di bawah langit?” tanyanya.

Jadi kalau ditanyakan apakah AI mengancam proses kreatif menulis karya sastra-termasuk kritik sastra-jawabnya tentu tidak. Kalau makna kritik adalah “bedah” (kritein), apakah ada metode “bedah” yang seragam ?

Menjawab pertanyaan apakah seorang penyair dalam.proses kreatif menulis puisi boleh mempergunakan teknologi AI yang merupakan teknologi yang memungkinkan mesin untuk meniru kecerdasan manusia ?

“Mencipta karya puisi dengan bantuan AI, okelah. Tapi menilai puisi tersebut dengan AI, ini menjadi suatu pertanyaan.Oleh karena itu, tanggung jawab para dosen sastra adalah mengembangkan proses berpikir kritis (critical thinking) kepada para mahasiswanya. Jangan, para mahasiswa hanya dipercayakan kepada gadget semata.Sementara kritikus sastra yang menulis dengan meminjam teknologi AI, menurut saya, kritikus tersebut kurang percaya diri,” tutup Prof.Dr.Wahyu Wibowo yang dikenal sebagai penulis 50 judul buku sastra, filsafat,  jurnalistik, dan sebagainya.

TEKNOLOGI AI ADA KETERBATASAN

Sementara itu Penyair Giyanto Subagio ketika di hubungi di kediamannya pada Minggu pagi (19/1/2025) mengakui bahwa teknologi AI ada keterbatasan dalam hal bank naskah sastra serta kosa kata terbaru.