Obrolan Dengan Pianis & Komponis Ananda Sukarlan Menjelang Premiere Tembang Puitik Karya Penyair D.Zawawi Imron dan Pulo Lasman Simanjuntak

Avatar photo

PLS : Para pemain yang anda undang untuk ikut itu adalah para pemenang kompetisi Piano Nusantara Plus dan Ananda Sukarlan Award (ASA) ya. Apa beda KPN+ dan ASA?

AS : Kompetisi Piano Nusantara Plus ( KPN+ ) itu lebih “ramah”, bisa untuk anak-anak yang belum pernah mengikuti kompetisi bahkan. Ini adalah kali pertama kompetisi musik klasik membuka kesempatan pemusik semua instrumen untuk bergabung, tentu saja termasuk vokal klasik di kategori Tembang Puitik. Dan ini “terinspirasi” oleh saya sendiri yang sudah melakukannya sejak ASA tahun lalu, meskipun ASA masih terbatas kategorinya. Saya sebagai ketua jurinya kebetulan berprofesi sebagai komponis, yang dulu waktu kuliah “terpaksa” belajar memainkan semua instrumen walaupun hanya basic technique saja. Jadi saya mengerti seluk-beluk berbagai instrumen lain, baik gesek maupun tiup. Tapi dengan seiringnya waktu, saya sudah bekerja dengan musikus berbagai instrumen untuk bisa mendalaminya lebih jauh. Untuk ASA, karena level-nya lebih tinggi, saya juga mengajak juri lain di instrumen bidangnya, untuk tahun 2025 ini saya mengajak Alice Cahya Putri (soprano lulusan Hungaria dan kini mengajar di Singapura) dan Eric van Reenen (pernah menjadi pemain oboe Philharmonie Zuidnederland dan sekarang tinggal di Cina sebagai pemain oboe solois) serta beberapa juri lain.

Masih ada satu lagi nilai tambah yang unik dari kompetisi Piano Nusantara Plus, karena saya menaruh perhatian besar pada dunia pendidikan untuk teman-teman disabilitas dan berkebutuhan khusus. Kami membuka kategori Non Kompetisi yang bisa diikuti pemusik berkebutuhan khusus dan disabilitas fisik.

PLS : Kenapa anda tertarik dengan isu disabilitas?

AS : Ya saya juga lahir dengan Asperger’s Syndrome kan. Dan saya merasakan bagaimana hidup di masyarakat yang masih belum sadar dan ramah terhadap disabilitas, terutama waktu saya kecil. Jadi saya tahu bagaimana rasanya “berbeda” dengan kebanyakan orang, makanya saya banyak bekerja untuk teman-teman yang mengalami hal yang sama untuk menunjukkan bahwa kami hanya berbeda, tapi kami tidak kurang atau cacat. Kalau ada kesempatan, kami juga bisa berkontribusi sebagai anggota masyarakat yang berguna.

Saya telah bekerjasama dengan Fundacion Musica Abierta di Spanyol untuk membuat musik bagi anak-anak yang secara fisik berkebutuhan khusus (disabled), misalnya hanya satu tangan atau beberapa jari saja yang berfungsi. Apa yang telah saya pelajari di periode itu kini saya usahakan untuk diwujudkan di Indonesia, antara lain lewat Yayasan Musik Sastra Indonesia yang kami didirikan bersama Ibu Pia Alisjahbana, Bapak Dedi Panigoro dan Chendra Panatan manager saya. Ada beberapa karya yang saya mainkan di konser tanggal 19 nanti : Lonely Child (untuk satu jari, atau bahkan bisa dengan tongkat pendek / stick saja), dan juga “Sweet Sorrow” yang untuk biola dan piano itu pianonya hanya dimainkan oleh dua jari saja di setiap tangan. Ini untuk menunjukkan bahwa kaum disabilitas bisa bermain bersama dengan musikus-musikus lain yang “normal”.