Sementara di Amerika Serikat, perlindungan hak cipta atas karya jurnalistik berlaku hingga 70 tahun setelah kematian pencipta. Negara-negara seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Pakistan memiliki masa perlindungan 50 tahun. Sebagian juga menerapkan pembayaran royalti bila karya digunakan dalam konteks komersial, seperti iklan atau konten berbayar.
“Kalau kita ambil foto dari media luar negeri tanpa izin, bisa langsung ditagih dalam dolar,” ujar seorang dosen jurnalistik di Yogyakarta, mengingatkan mahasiswanya agar berhati-hati dalam praktik pengutipan digital.
Namun, penerapan royalti jurnalistik bukan perkara sederhana. Sebab, UU Pers saat ini mengatur bahwa pengutipan cukup dilakukan dengan menyebutkan sumber. Bila sistem royalti diberlakukan, maka pasal tersebut perlu diperluas atau diubah agar tidak bertentangan dengan semangat kebebasan pers dan hak publik atas informasi.
Dewan Pers dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers maupun Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) telah menegaskan pentingnya partisipasi publik dalam proses revisi. Pengalaman revisi UU Penyiaran jadi pelajaran: draf yang tidak transparan bisa mengancam kemerdekaan pers.
Revisi harus melibatkan jurnalis, media, dan masyarakat sipil agar adil dan proporsional, agar perlindungan hak cipta tidak berubah menjadi alat pembatasan informasi.
Royalti karya jurnalistik sejatinya bukan untuk membungkam akses publik, melainkan mengembalikan nilai intelektual dan ekonomi jurnalisme yang kini sering diabaikan. Dunia maya telah menjadikan karya berita begitu mudah disalin, dibagikan, dan dimonetisasi pihak ketiga tanpa imbalan bagi pembuatnya.
Jika revisi ini berhasil dirumuskan secara transparan dan partisipatif, Indonesia akan memasuki fase baru –era penghargaan yang adil bagi kerja jurnalistik.
Mengutip bukan lagi sekadar urusan etika dan sopan santun, tetapi juga tentang keadilan ekonomi. Sebab di balik setiap berita yang kita baca, ada waktu, tenaga, dan keberanian manusia yang pantas dihargai lebih dari sekadar sebaran tautan.