Komponis & Pianis Ananda Sukarlan : Dunia Seni Tak Takut Teknologi AI

Avatar photo

Namun, malah mencoba menjegal orang lain, dengan “intelligence” kita. Apalagi kalau sedang jatuh cinta, langsung deh otak itu “hang”, dan susah di restart.

Masih mengaku “intelligent”? Ya ternyata tidak kan? Jadi kita bikinlah Intelligence yang Artificial, yang palsu. Nah, kita yang sebetulnya bodoh tuh jadi kelihatan pintar kalau memakai AI. Tidak bisa bikin musik, puisi, lukisan, tapi jadi bisa, terus kita pamerkan di media sosial sebagai karya kita sendiri. Tapi ternyata AI banyak mengambil alih tugas kita, AI merebut banyak lapangan pekerjaan, jadi kita berpikir, mungkin kita ini sebetulnya tidak terlalu pintar untuk sampai menciptakan AI.

Dimana artificial intelligence itu menjadi lebih intelligent daripada natural Intelligence yang kita miliki sejak lahir. Kita jadi kelihatan tambah bodoh!

Kesimpulannya, kita cukup pintar untuk menciptakan AI, cukup bodoh untuk membutuhkannya, dan begitu bodohnya kita sehingga kita tidak dapat menyadari apakah kita memang membutuhkan AI atau tidak.

Apakah dibutuhkan kejujuran, etika, dan idealisme penulisnya dalam menggunakan teknologi AI baik untuk sebuah karya musik atau kritik musik ?

Ahahahah …. ya tentu saja tidak! Dengan menggunakan AI tapi mengakui bahwa karya tersebut adalah karya kita, itu saja sudah tidak jujur, tidak etis dan jauh dari idealis. Kan itu hasil pikiran orang —eh mesin– lain, bukan hasil pemikiran kita. Kok ngaku-ngaku?

Bagaimana tanggapan untuk generasi milenial (Gen Z) yang paling banyak mempergunakan teknologi kecerdasan buatan untuk melahirkan sebuah karya musik ?

Ya silahkan saja, itu bukan urusan saya. Soalnya saya paling tidak suka karya “seni” bikinan AI. Kalau anda suka, ya silakan saja.

Lalu apakah teknologi AI ini akan ‘mengancam’ dunia musik (klasik) di Indonesia ?

“Ah, tidak kok, well, mungkin belum saja ya. Musik klasik, seperti seni yang memang seni yang tulen itu butuh intuisi artistik, bukan hanya logika. AI itu “I” nya intelligence, logika, bukan A untuk Art. Artificial Intelligence tidak bisa menangkap metafora, karena metafora itu tidak untuk dimengerti, tapi dirasakan,” katanya.

Hanya natural intelligence yang bisa. Tapi, AI sangat membantu kehidupan para seniman, misalnya untuk bersih-bersih rumah, menyupiri kita dengan mobil tanpa supir dan lain-lain. Jangan terbalik, kita yang bersih-bersih rumah tapi kita menyuruh AI untuk membuat musik kita. (Lasman )