Komponis & Pianis Ananda Sukarlan : Dunia Seni Tak Takut Teknologi AI

Avatar photo

JAKARTA– Komponis dan Pianis Ananda Sukarlan dikenal sebagai tokoh utama Indonesia dalam genre Tembang Puitik, yaitu gubahan musik berdasarkan puisi yang sudah ada.

Ia telah mencipta lebih dari 500 karya berdasarkan puisi dari bahasa Spanyol (Miguel Cervantes, Federico Garcia Lorca dll.), Inggris (antara lain William Shakespeare, Walt Whitman, Emily Dickinson) dan ratusan penyair Indonesia.

Ia juga adalah penyandang Asperger’s Syndrome dan 20 Februari mendatang akan menggelar talkshow dan konser yang khusus membahas disabilitas dan musik. Acara ini diselenggarakan oleh Rotary Club, dimana Ananda adalah salah seorang honorary member.

Berikut di bawah ini adalah wawancara tertulis sinarpagi.news  dengan Komponis & Pianis Ananda Sukarlan di Jakarta pada Minggu, 26 Januari 2025.

Apakah tanggapan Ananda Sukarlan sebagai komponis terhadap teknologi ini untuk proses kreatif menulis karya musik, misalnya musik klasik tembang puitik ?

Sampai sekarang teknologi kecerdasan buatan AI (Artificial Intelligence) masih belum bisa, karena tembang puitik itu bukan seperti musikalisasi puisi , istilah yang populer di kalangan para penyair dan musikus pop di Indonesia. Proses kreatif tembang puitik itu menganalisa metafora yang ingin digambarkan oleh karya sastra dengan penggabungan kata-kata yang tepat, dan mencoba melukisnya lewat musiknya, bukan kata-kata yang dibikin melodi.Jadi begitu puisi itu sudah menjelma menjadi tembang puitik, musiknya (bisa dibilang iringan instrumentalnya) itulah yang menterjemahkan teks puisinya, tidak sekedar memberi ritme, atau akord-akord semacam mengisi kekosongan selama penyanyinya menyanyi seperti di musik pop.

Intinya puisi dan musik itu sama, ingin melukis hal-hal yang tidak bisa dilukis. Musik itu selalu puitis, dan puisi itu selalu musikal.

Sapardi Djoko Damono adalah contoh yang paling jelas, misalnya kalau dia bilang subuh ini/ kau menjelma langit/ yang semalaman/ tak memejamkan mata atau aku ingin mencintaimu/ dengan sederhana/dengan isyarat/ yang tak sempat disampaikan /awan kepada hujan /yang menjadikannya tiada.

Nah itukan sebetulnya lukisan? Cuma, gimana melukisnya? Hanya musik yang bisa melukisnya.

Apa AI bisa mengerti metafora sedalam dan seindah itu? Saya kok tidak percaya. Keindahan dan kedalaman artistik itu tidak untuk dimengerti, tapi untuk dirasakan. AI itu “I”nya Intelligence, bukan Emotion.

Lalu Apa ‘kelemahan’ dan ‘kelebihan’ teknologi AI ini ?

Gini. Kita tuh sebetulnya sudah punya Intelligence yang natural. Tapi ternyata kecerdasan itu tidak berguna! Lihat saja, itu cuma dipakai untuk berantem bahkan sampai perang. Bahkan banyak yang tidak senang kalau kita berhasil, dan bukannya bergabung untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik bersama-sama demi tujuan yang lebih baik.