Komponis Ananda Sukarlan : Teknologi AI Justru Mencerahkan Masa Depan Musik Klasik

Avatar photo

Misalnya Kedutaan Ecuador meminta saya membuat musik dari berbagai puisi Jorge Carrera Andrade, Finlandia memperkenalkan musik mereka ke Indonesia (dan kemudian saya ke Finlandia untuk pendidikan dan kolaborasi budaya), Australia mengeksplorasi sejarah hubungan dengan Indonesia dengan musik saya The Voyage to Marege’ dan masih banyak lagi.

Indonesia masih belum mendalami diplomasi ini. Yang saya lihat, Kedutaan Besar RI di luar negeri masih terbatas mengundang grup-grup dangdut misalnya, untuk konsumsi para diplomat kita sendiri.

Saya mengagumi upaya duta besar RI di Helsinki, Ratu Silvy Gayatri yang mengundang saya ke Helsinki tahun lalu dan mengorganisir bukan hanya konser tapi juga pertemuan saya dengan berbagai institusi di Finlandia seperti Sibelius Academy of Music, Museum Sibelius dan beberapa tokoh penting dalam diplomasi budaya.

Saya pribadi memang sudah banyak berhubungan dengan Finlandia dan berbagai institusi serta seniman negara itu selama 25 tahun ini, tapi baru tahun lalu Indonesia terlibat dalam diplomasi budaya yang saya lakukan.

LS : Bagaimana perkembangan musik klasik di Indonesia, terutama bagi Gen Z/Gen Alpha dan untuk disabilitas (autis) ?

Luar biasa sih. Kompetisi Piano Nusantara Plus tahun lalu kami adakan di 8 kota, dan total pesertanya 477. Sekarang kita tidak bisa lagi bilang musik klasik di Indonesia tidak populer.

Bahkan musik klasik adalah genre musik yang masih belum bisa tersentuh oleh Artificial Intelligence, sehingga masa depan musikus klasik sekarang justru jauh lebih menjanjikan daripada profesi lain yang bisa digantikan oleh AI.

Musik klasik justru dinilai dari inovasinya dan kompleksitas pengembangannya, beda dengan misalnya musik Taylor Swift yang progresi harmoniknya itu-itu saja dan mengandalkan faktor eksternal seperti joget, efek visual dan tatanan panggung.

Indonesia juga kini memiliki musikus-musikus muda yang memang belum bisa tinggal di Indonesia (seperti saya sampai 2017 yang harus “cari makan” dari profesi saya dan juga untuk bisa pensiun).

Memang sih Indonesia lahannya belum bisa untuk seniman menghidupi diri sendiri murni dari berkesenian. Ada Isyana Sarasvati yang kuliah musik klasik, tapi kini menjadi musikus pop yang berkualitas. Kita ada pianis Calvin Abdiel Tambunan yang baru saja memenangkan juara ke-3 Sydney International Piano Competition, salah satu kompetisi paling bergengsi di dunia, dan Calvin memang tidak berniat balik ke Indonesia untuk sementara waktu ini, sama seperti pianis Anthony Hartono dan soprano Alice Cahya Putri yang kini tinggal di Singapura. Saya juga tidak menganjurkan mereka untuk pulang ke Indonesia karena mereka akan bisa lebih berkarya lebih produktif di luar negeri.
Kalau soal disabilitas saya sudah jelaskan di point pertama di atas, ya.