Buku Berjudul ” Serat Panji Pudhak Lelana ” Karya Naufal Anggito Yudhistira dan Proses Kreatifnya

Avatar photo

Selain itu buku berjudul “Tjeritera Pandji dalam Perbandingan” karya Poerbatjaraka menjadi pintu masuknya ke dalam kajian Panji.

Dari proses pengenalan itu, Naufal Anggito Yudhistira makin menyelami kekayaan sastra dan pernaskahan Panji. Hal ini pula yang membawanya mengenal berbagai teks sastra Panji yang muncul dari tradisi Pesisiran dan Keraton-keraton Jawa. Selain itu, ketertarikannya kian berkembang setelah mengenal pertunjukan wayang gedhog.

Proses Anulad Kawi Radya

Salah satu cara belajar yang dilakukan Naufal Anggito Yudhistira untuk menambah wawasannya adalah dengan membaca dan menyalin karya-karya sastra Jawa klasik dengan aksara Jawa.

Selain itu, Naufal Anggito Yudhistira juga perlahan-lahan mulai mencoba menggubah karyaa sastra berbentuk tembang macapat sejak S1. Karya-karya itu kebanyakan belum terbit.

Salah satu karya tulisannya yang sudah diterbitkan adalah “Serat Panji Pudhak Lelana”. Proses belajar semacam itu memang termasuk aneh.

” Walau begitu, saya terus cara belajar dengan menyalin dan menggubah karya sastra berbentuk tembang macapat itu merupakan cara yang sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan pemahaman sastra dan bahasa Jawa,” katanya lagi.

Mengapa muncul keinginan bagi Naufal Anggito Yudhistiraa untuk menyalin berbagai serat dan menggubah berbagai serat baru? Hal ini tidak lain adalah keinginan untuk menguasai kesusastraan Jawa sebagaimana mestinya.

Baca Juga :  Festival Literasi Internasional Minangkabau (IMLF) ke-4 akan Diselenggarakan 3-7 Juni 2026 di Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat

Menguasai kesusastraan Jawa tidak bisa dilaakukan dengan cara modern. Penguasaan kesusastraan Jawa juga berarti menguasai baca-tulis aksara Jawa, menguasai tembang, menguasai keragaman gaya bahasa, dan kebudayaannya.

Kesadaran perlunya melestarikan kemampuan “kapujanggan” tidak hadir begitu saja. Orang Jawa selalu bangga dan lantang menyebut Ranggawarsita sebagai pujangga wekasa/pujangga pamungkas ‘pujangga penutup’.

Mengapa orang Jawa justru bangga? Bukankah dengan demikian maka orang Jawa mengamini “kematian” dari keilmuannya? Pujangga bukan sekedar sastrawan, namun juga cendekiawan.

Bahkan, dahulu pujangga acap kali masuk dalam jajaran paranpara nata ‘penasehat-lembaga pertimbangan raja’ di keraton-keraton Jawa.

Dalam tradisi kepujanggaan Jawa, seorang pujangga tidak serta-merta dipandang seperti “pujangga” atau “sastrawan” dalam sudut pandang sastra Indonesia moder. Pujangga harus memiliki kemampuan dalam bahasa Jawa, bahasa Jawa Kuna, kemahiran-penguasaan berbagai tembang, menguasai seni musik, berprilaku baik, berwawasan luas, mahir berbagai keterampilaan, menguasai berbagai pengetahuan, bahkan mampu menguasai berbagai aspek kasat mata dan tidak kasat mata.