Jakarta, SPN – 11 Gubernur dari berbagai daerah di Indonesia menghadiri Forum Regional Economic Leadership (REL) Angkatan IX Tahun 2025. Sebuah forum prestisius yang digelar Bank Indonesia, Jakarta Pusat. Senin ( 15/9/2025). Dengan mengusung tema “Mendorong Pertumbuhan Ekonomi melalui Penguatan Sinergi Pusat dan Daerah dalam Mendukung Program Asta Cita,” diskusi berlangsung hangat, kritis, dan penuh refleksi.
Forum ini mempertemukan 11 gubernur termasuk Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa yang di hadapan peserta forum, Gubernur Lewerissa tak sekadar menyampaikan laporan daerah, melainkan sebuah “alarm keras” tentang realitas kepulauan Maluku. “Saya bersyukur berada dalam forum terhormat ini, banyak sekali insight yang bermanfaat bagi kami pemerintah daerah,” katanya

Selanjutnya , Lewerissa menggambarkan Maluku sebagai provinsi unik, terdiri dari 92,6 persen wilayah laut, hanya 7,4 persen daratan. Potensi terbesar jelas di sektor perikanan. Namun, potensi itu justru tak memberi manfaat signifikan bagi masyarakat daerah. “Maluku adalah provinsi dengan kapasitas fiskal yang rendah. Kami sangat bergantung pada dana transfer pusat. Jadi ketika ada kebijakan pusat terkait TKD, daerah seperti kami bisa panas dingin dibuatnya.,” ujarnya.
Menurutnya, pilihan daerah dengan fiskal lemah hanya dua, menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menghadirkan investasi. Tetapi, di sinilah masalah besar muncul, kebijakan pusat justru kerap menarik kewenangan strategis yang semestinya dikelola daerah.
Dalam sektor perikanan, misalnya, provinsi hanya boleh mengeluarkan izin untuk kapal penangkap ikan dengan kapasitas maksimal 30 GT. Di atas itu, seluruh kewenangan ada di kementerian. “Pendapatan negara bukan pajak dari perikanan semuanya ditarik ke pusat. Jadi susah sekali bagi kami untuk menggenjot PAD,” ujarnya.
Hal serupa terjadi di sektor pertambangan. Hampir semua kewenangan ditarik ke pusat, kecuali izin pertambangan rakyat. “Kami berkomitmen menghadirkan investasi, menggerakkan BUMD, tapi kebijakan pusat sering menjadi penghambat,” lanjutnya.
Ironi lain juga ia ungkapkan. “Bayangkan, 30 persen potensi perikanan nasional berasal dari tiga WPP di Maluku, tapi masyarakat kami tidak mendapat apa-apa. Ada aturan transhipment yang membuat hasil tangkapan langsung dialihkan di laut, sehingga tidak ada dampak ekonomi di daratan. Pertumbuhan ekonomi eksklusif semacam ini tidak memberi manfaat bagi masyarakat pemilik sumber daya,” tegasnya.