Kosakata : Menumbuhkan Rumah Di Dalam Kata

Avatar photo

JAKARTA-Kosakata : Menumbuhkan Rumah Di Dalam Kata

Catatan dari Inaugurasi Kosakata Jakarta Barat, 18 Juli 2025
Oleh : Emi Suy

Bangsa yang besar bukan hanya mencatat sejarahnya, tapi juga menuliskannya dengan cinta dan kesadaran.”
~ Pramoedya Ananta Toer

Pada hari yang jernih—di antara langit yang biru dan langkah yang penuh harap—Jumat, 18 Juli 2025, sebuah rumah baru bagi kata dan kesadaran resmi lahir di jantung Jakarta Barat.

Bukan sekadar rumah fisik, melainkan rumah makna. Rumah yang ditanam di tanah peradaban, disirami dengan kolaborasi, dan dinaungi oleh semangat komunitas.

Gedung PPSB (Pusat Pelatihan Seni dan Budaya) hari itu bukan hanya menjadi tempat berkumpulnya orang-orang, tetapi menjadi semacam altar tempat kata-kata dimuliakan kembali.

Acara bertajuk Inaugurasi Sastra bukan seremoni biasa. Ia menjadi ritual kultural yang menghidupkan kembali keyakinan bahwa sastra bukan sekadar hiburan intelektual, melainkan jantung dari keberadaban manusia.

Musik gambus mengalun, membawa kita pada akar. Palang Pintu Betawi dibuka dengan khidmat, seolah memberi restu dari bumi Jakarta. Tarian-tarian tradisional seakan mengguratkan harapan langsung ke lantai waktu—bahwa sastra tak boleh lagi menjadi tamu di rumah sendiri.

Namun, bukan hanya rangkaian acaranya yang membekas. Yang paling menyentuh justru sesuatu yang lebih lembut namun lebih dalam: kelahiran Kosakata —sebuah ruang kolektif yang dibangun bukan semata oleh pikiran, tapi oleh perasaan, oleh kasih, oleh kegelisahan yang akhirnya menemukan bentuk dan forum.

Mereka yang Membaca Kata Seperti Menyalakan Pelita

Hari itu, para penyair bukan hanya tampil membacakan puisi. Mereka hadir seperti menyalakan obor. Jose Rizal Manua dengan suara berapi, Octavianus Masheka dengan kegetiran lembutnya, dan Anto Ristargie dengan lirih yang dalam, seolah menegaskan bahwa puisi masih punya tempat, bahkan di tengah kota yang makin sibuk, makin keras, makin teralienasi.

Saat buku Kosakata ‘Memeluk Dunia’ diserahkan kepada Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Barat, Bapak Joko Mulyono, kita seakan menyaksikan penanda zaman.

Sastra kini tak lagi menjadi bisik yang tercecer di pinggir kota. Ia punya nama. Ia punya komunitas. Ia telah kembali dan menemukan alamatnya.

Dalam sambutannya, Pak Joko Mulyono menyatakan dengan jujur dan rendah hati:

“Saya mengakui, selama ini sastra belum mendapat perhatian dan dukungan yang layak dari Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Barat. Ini menjadi evaluasi penting bagi kami. Kosakata bukan hanya komunitas, tetapi menjadi awal dari keseriusan kami untuk membangun sistem yang mendukung pertumbuhan sastra secara berkelanjutan.”