Renungan Puitis Untuk Ideologi Kekerasan, Kata Pengantar Untuk Buku Puisi Sastri Bakry Dalam Tiga Bahasa: SAKTI

Avatar photo

Oleh :  Denny JA

Banyak idelogi besar atas nama kemanusiaan, tapi bertujuan meraih kekuasaan
akan berakhir dengan kejahatan dan tragedi.”

JAKARTA-Renungan ini yang datang ketika membaca puisi Sastri Bakry: Kanal Asmara. Bahasa Inggrisnya: Canal of Love. Bahasa Spanyolnya: Canal del Amar. Semua puisi dituliskan dalam tiga bahasa.

Puisi ini sebuah jerit lirih atas abad penuh darah dan janji-janji palsu. Bait-baitnya seperti doa yang patah: menyusuri kanal cinta yang tak sempat dibangun, karena sejarah lebih sibuk menggali parit-parit kebencian.

Di tengah refleksi di Istana Perdamaian, Den Haag, Sastri tidak sedang hanya mengenang kejatuhan Hitler atau Stalin, tetapi sedang menelisik ke jantung kegilaan manusia yang pernah—dan masih—percaya bahwa kebencian dapat melahirkan keadilan.

Puisi ini bukan sekadar puisi. Ia adalah renungan teologis, filsafat sejarah, dan ratapan seorang ibu bumi yang menyaksikan anak-anaknya saling menumpahkan darah atas nama masa depan.

Pada bait-bait Canal of Love, kita temui pertanyaan sederhana: “Mengapa kita tak membangun kanal asmara?”

Ini sebuah metafora soal ironi sejarah modern yang terlalu sering membangun kanal kekuasaan, kanal propaganda, kanal militer. Namun mereka lupa membangun kanal untuk cinta, dialog, dan keragaman.

Luka yang disinggung Sastri sangat spesifik: ia menyebut nama Hitler dan komunisme. Namun maknanya melampaui itu. Ia bicara tentang satu pola: ideologi besar yang menjanjikan dunia baru, namun justru melahirkan genosida, kamp kerja paksa, dan teror mental.

Nazisme berangkat dari luka pasca-Perang Dunia I dan ilusi akan kemurnian ras. Komunisme lahir dari mimpi keadilan sosial namun berubah menjadi diktatur proletariat yang menginjak martabat individu.

Dan kini kita tahu: ideologi, bila didewakan, bisa lebih kejam daripada dewa mana pun.

-000-

Saya langsung teringat karya sastra yang mengisahkan kegilaan ideologi modern serupa.
Yaitu George Orwell dalam novel legendarisnya, 1984.

Di sana, Winston Smith hidup dalam dunia yang dimonopoli oleh satu kebenaran: “Big Brother is watching you.” Tidak ada cinta, hanya pengawasan.

Tidak ada kebebasan, hanya bahasa yang direduksi. Tidak ada masa depan, hanya masa kini yang dibentuk oleh mesin ideologis.

Plot 1984 mengikuti Winston yang bekerja di Kementerian Kebenaran, mengubah sejarah agar sesuai dengan kehendak penguasa. Ia mencoba mencintai, berpikir bebas, dan bermimpi. Tapi negara lebih kuat.

Julia, kekasihnya, dikhianati. Winston pun akhirnya menyerah. Ia mencintai Big Brother.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *