JAKARTA–
Puisi
Pulo Lasman Simanjuntak
SEPI KAPAN MENCAIR
sunyi merayap
sepi tiarap
hening berharap
hidup nyaris kiamat
aku bertanya lagi,
tetapi pertanyaanku yang membeku
membentur jidat para pejabat
tak mau lagi berjabat erat
ketika berita kusebar
makin berkarat
ketika siaran kudendangkan
makin melarat
dengarlah,
oi, para pewarta
oi, para pujangga
di ujung otot usia menua
di muara ibu negeri
hijrah tumpah ruah
sepi
kapan mencair
akankah sampai
tiba
nyawa kita turun ke liang bumi
orang-orang mati
tak punya lagi
pengharapan
kepastian
Jakarta, Rabu, 31/1/2024
Dalam buku saya berjudul Sintesemiotik: Teori dan Praktik (2023) saya menguraikan apa itu “trikotomi analisis semiotik” yang merupakan bentuk alternatif kritik puisi dari metode Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis [CDA])—pernah saya mengajar mata kuliah CDA.
Metode trikotomi analisis semiotik dimulai dari analisis sintaksis, lalu analisis semantik, dan terakhir analisis pragmatik.
Dalam praktiknya, pada analisis pragmatik akan pelbagai tingkat kedalaman dan keluasannya, bergantung pada kualitas puisinya.
Teori yang lengkap silakan baca buku yang saya tulis di atas.
Secara ringkas, sintaksis ialah tata kata, semantik tata makna, dan pragmatik tata komunikasi.
Perhatikan puisi karya Pulo Lasman Simanjuntak di atas yang berjudul “Sepi Kapan Mencair”.
Judul puisi ini secara sintaksis telah melakukan inversi (pembalikan posisi kata). Seharusnya jika itu berupa kalimat tanya, ditulis “Kapan sepi mencair?” dengan tambahan tanda tanya (?).
Akan tetapi, kalimat itu disusun terbalik dan tanpa tanda tanya.
Secara semantik, artinya, tak perlu dipertanyakan lagi—atau memang sepi ini sesuatu yang sudah dipahami oleh semua pihak, secara pragmatik, yang disapa oleh Pulo Lasman Simanjuntak
Baca bait 1:
sunyi merayap
sepi tiarap
hening berharap
hidup nyaris kiamat
Secara sintaksis kalimat di atas termasuk kalimat dengan tata bahasa yang tertib dengan subjek dan predikat yang jelas.
Hanya secara semantik, sunyi, sepi, dan hening memiliki perbedaan maknawi.
Sunyi lebih kepada audio, sepi lebih kepada visual, dan hening lebih kepada kondisional.
Selera sintaksis dan semantik Pulo Lasman Simanjuntak bagus di sini dalam bungkus personifikasi (gaya bahasa pengorangan), yakni sunyi bisa merayap, sepi bisa tiarap, dan hening bisa berharap.
Akan tetapi, baris “hidup nyaris kiamat” semacam kalimat negasi dari seluruh personifikasi itu atau malah kalimat afirmasi dari seluruh majas pengorangan itu, yang dalam hal ini, hidup hampir hancur itu akibat enumerasi sunyi, sepi, dan hening yang diberi nyawa oleh Pulo Lasman Simanjuntak dengan bunyi huruf “p” yang menekan napas yang terasa pengap, ap—ap—ap, karena tak memberi jalan keluar udara dari mulut akibat kedua bibir terkatup rapat.