Tembang Puitik = Musikalisasi Puisi? Apa kata Komponis Ananda Sukarlan?

Avatar photo

PLS : Sejak kapan istilah “tembang puitik” itu ada?

AS: Wah itu saya tidak tahu, saya ikut tradisi art song di Eropa saja. Kalau anda google “Art Song”, yaitu bahasa Inggrisnya “tembang puitik”, dan lihat daftar nama para komponisnya misalnya di wikipedia, saya memang ada di sana. Saya sejak dulu memang suka sekali bikin musik dari puisi, karena banyak puisi yang “bunyi” buat saya. Sebetulnya saya juga tidak setuju dengan istilah “Art Song” karena sebetulnya intinya adalah ini lagu yang dibikin dari puisi oleh penyair (yang bukan sang komponis). Memangnya komponis non-klasik kalau bikin lagu dari puisi bukan “art”? Nah, itu Bob Dylan sampai menang Nobel Sastra loh (dan banyak sastrawan ngamuk sih, termasuk saya yang selalu sotoy kalau ngoceh soal sastra ini), siapa berani bilang bukan art. Tapi ini topik lain deh, kita jangan menyeleweng dari inti percakapan ini.

PLS: Kenapa anda tertarik membuat puisi berjudul “Meditasi Batu” dan juga “Menulis Syair Untuk Presiden Episode Dua” karya Penyair Pulo Lasman Simanjuntam dan bisa sebutkan tembang puitik anda yang mana yang menurut anda terbaik?

AS : Wah kalau yang terbaik itu biar para vokalis serta pendengar yang menilai. Saya bisa menjawab hanya yang favorit pendengar sih, yang pasti banyak dari puisi Sapardi Djoko Damono karena metafora dan tema cinta di puisi-puisinya melahirkan melodi yang memang terkesan romantis. Jadi memang penonton masih lebih tertarik ke melodi daripada tema, unsur sejarah atau elemen musik seperti harmoni dan ritme. Musik tidak selalu tentang keindahan yang enak didengar —kadang ia aneh, pahit, bahkan bikin senewen dan marah, tergantung dari apa yang ingin disampaikannya. Tapi justru di situlah gabungan puisi dan musik menemukan rohnya. Yang saya amati, pendengar kita masih hanya ingin dengar yang indah-indah saja.
Padahal ya saya tertarik dengan puisi anda (bukan hanya 2 yang sudah disebut itu, tapi secara umum) itu karena penyusunan kata-kata dan unsur sejarahnya (yang justru kebanyakan pengalaman pahit), yang kemudian melahirkan ritme berupa ostinato yang unik. Setiap penyair itu ibaratnya membuka pintu atau kotak Pandora dalam diri saya yang tadinya tidak kusadari, dan melahirkan musik yang khas. Asiknya, semua musik saya dari puisi Sapardi punya gaya sendiri, Joko Pinurbo juga, pokoknya kalau saya sudah bikin lebih dari satu puisi dari sang penyair, saya jadi memapankan sebuah gaya musik sendiri. Tiap penyair memperkaya bahasa musikal saya. Tapi para vokalis dan pendengar bilang bahwa semua musik saya itu ada gaya khas “Ananda”nya! Nah, itu yang saya tidak bisa menjelaskan, dan sudah dijelaskan oleh puluhan mahasiswa yang menggunakan musik saya sebagai tesis dan disertasi mereka. Kalau esai yang bahasa Indonesia, coba deh google tulisan Prof. Dr. Effendi Kadarisman tentang proses pembuatan musik saya dari puisi. Kebanyakan penelitian adalah oleh mahasiswa negara dan bahasa lain, seperti anda ketahui, tanggal 20 Maret nanti adalah konser akhir mezzo-soprano Zoe Hong Yee Huay di Royal Conservatoire of Scotland yang meneliti puisi “Meditasi Batu” (Pulo Lasman Simanjuntak) dan “Soto Ibu” (puisi Setiyo Bardono).