JAKARTA– Bertemu dengan komponis Ananda Sukarlan pada peluncuran dua buku sekaligus karya Shantined berupa kumpulan cerpen berjudul “Saga, Serigala dan Sebilah Mandau” dan kumpulan puisi berjudul “Kita Yang Tersisa Dari Luka Cuaca” di Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Lantai 4 Gedung Panjang di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) pada KAMIS 27 Februari 2025.
Kami lalu terlibat obrolan panjang lebar dengan Komponis Ananda Sukarlan yang kebetulan pernah menggubah karya puisi Shantined, tepatnya berjudul “Sepenuh Ini, Indonesia”, menjadi sebuah tembang puitik
Karya puisi tersebut kebetulan ada dalam buku antologi puisi tunggal Shantined yang baru diluncurkan tersebut.
Mengingat sebentar lagi ada dua kompetisi besar yang menyangkut yembang puitik akan dilangsungkan, kami berpendapat obrolan ini akan sangat berguna untuk dibagi kepada para vokalis calon peserta kompetisi, penyair dan sastrawan yang sudah dan akan bekerja dengan Ananda Sukarlan atau komponis lainnya, dan pembaca pada umumnya.
Berikut di bawah ini obrolan panjang Penyair Pulo Lasman Simanjuntak (PLS) dengan komponis Ananda Sukarlan (AS) yang telah menciptakan lebih dari 500 tembang puitik, puluhan rapsodia nusantara untuk piano solo dan banyak lagi karya untuk orkes, opera dan musik kamar ini di Jakarta pada Sabtu malam (1/3/2025).
Pulo Lasman Simanjuntak (PLS) : Jadi istilah tembang puitik sebetulnya adalah musikalisasi puisi?
Ananda Sukarlan (AS) : Apa yang saya lakukan bukanlah “musikalisasi puisi” seperti yang populer dilakukan di dunia musik pop, melainkan mengambil esensi dari puisi-puisi tersebut dan mencoba menerjemahkannya melalui musik. Jadi buat saya rima dan fonetik dari bait-bait puisi tersebut tidak sepenting metafora yang ingin diekspresikan oleh puisi itu sendiri. Contohnya adalah suara kereta api di kuartet gesek yang melatarbelakangi “On the Night Train” (Henry Lawson), atau dengan piano di “Nostalgia” (Eka Budianta) dan “Bapak” (Julia Utami), karena penyair terakhir ini yang juga dikenal sebagai Julia Daniel Kotan (setelah menikah dengan putra Lembata (NTT) Daniel Boli Kotan ini memang dijuluki “penyair kereta” karena sering menulis puisi di kereta api. Ia sendiri tinggal di Bogor dan selalu naik kereta untuk bekerja di Jakarta. Bahkan ada buku kumpulan puisi Julia Utami yang berjudul “Kereta dan Penyairnya”. Kalau musikalisasi puisi kan tidak ada suasana kereta di lagunya, hanya kata-kata yang dibikin melodi kan? Coba deh cari saja di youtube lagu-lagu yang saya gubah tersebut.
Saya yakin komponis Eropa & Amerika Franz Schubert, Michael Tippett, Leonard Bernstein dan mereka yang hobby-nya baca puisi terus ditulis notasi musik menurut yang mereka dengar juga tidak setuju dengan istilah bahasa Indonesia “musikalisasi” ini diterapkan ke musik mereka.